Saturday, September 15, 2018

Dari Chairil Anwar, Buat Gadis Rasid

Dari Chairil Anwar, Buat Gadis Rasid




Bandung, Maret 2006. Sejak pukul 6 pagi, saya mondar-mandir menunggu mahasiswa datang menawarkan pekerjaan di sebuah rental komputer, dekat kampus. Sampai pukul 12 siang di hari Senin itu, tak ada satupun tawaran yang datang.
Awal semester memang selalu pelit pekerjaan transkrip dan terjemahan, sebab mahasiswa belum kebagian tugas berat dari dosen. Diam-diam, saya mengutuk dosen yang tidak memberikan tugas yang menyita waktu pada mahasiswanya, sebab itu merugikan saya!
Rasa lapar membuat orang rela berbuat apa saja. Maka pergilah saya ke kampus, berharap ditraktir rokok dan makan oleh seorang kawan.
Dengan sigap, kawan ini merangkul saya yang memang sengaja pasang tampang memelas. Sesampainya di warung, ia bilang tanpa basa-basi, “Gini, Gal. Lu gue traktir makan dah!” ucapnya, “Asal lu bikin lagu dari puisi Chairil Anwar untuk acara tanggal 28 April nanti. Dosen minta ada yang bikin musikalisasi puisi dia. Kumaha?”
Dalam kehidupan ini, diam tidak menyelesaikan masalah. Sementara, cacing di perut nampaknya sedang tertawa terbahak-bahak. Dengan tegas, saya acungkan tangan ke penjaga warung dan berujar, “Teh! Nasi goreng satu!”
****
Dua jam kemudian saya diajak ke Gelanggang, Unit Kegiatan Mahasiswa Sastra Indonesia di Universitas Padjadjaran untuk bertemu panitia Hari Chairil Anwar. Lumayan, dari mereka saya mendapat buku antologi puisi Chairil.
Terus terang, saya sudah baca sebagian besar sajaknya. Jadi, tak perlu waktu lama untuk membolak-balik isi buku tersebut, dan mencari puisi yang pas dengan gaya lirik saya. Drap! Saya menutup buku, dan menepuk pundak salah satu panitia, “Oke, saya pilih Buat Gadis Rasid!”
Saya sengaja intip dengar ketika orang-orang di kampus sedang berlatih membaca puisi. Sepanjang mendengar mereka, pikiran saya bilang, “Wah, gampang betul baca sajaknya. Terlalu banyak main gestur, padahal sajaknya enggak segalak itu juga!” Atau, “Apa-apaan ini? Teksnya bagus, pas dibaca kok jadi jelek begitu?!”
Dari pengalaman itulah, saya terbersit: “Memangnya siapa Gadis Rasid di puisi ini? Jangan sampai saya bikin musik seburuk pembaca puisi amatiran di depan mata saya!” Bagaimanapun juga, sogokan paksa berupa nasi goreng dan buku ini mesti dipertanggungjawabkan!
Maka, diskusi kecil-kecilan dibuka dari warung kopi ke warung kopi, dari tukang nasi goreng ke tukang nasi goreng. Dengan kawan-kawan, saya membedah Buat Gadis Rasid. Ada sekian banyak opini, mitos, dan fragmen informasi yang terhimpun dari percakapan-percakapan ini. Jelas, banyak yang belum bisa dipastikan kebenarannya.
Sebagian kawan sepemikiran dengan Goenawan Mohamad, yang memandang keindahan sajak tersebut dalam sebuah esai pada tahun 2016:
“.....di sebelah sini ada daun-daun hijau, padang lapang dan anak-anak kecil tak bersalah. Tapi di sebelah sana ‘angin tajam kering, tanah semata gersang, pasir bangkit mentanduskan’. Dan di antara kedua sisi itulah, antara suasana terbuka yang segar dan ancaman ketandusan pikiran, sang penyair merasa terapit. ‘Kita terapit, cintaku-mengecil diri....’
Tapi tak mandek. Ia bahkan mengajak terbang, the only possible nonstop flight, terbang mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat. ‘Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati’. Yang penting bukanlah suatu arah, melainkan keberanian menjelajah. Yang penting bukanlah satu konklusi, melainkan eksplorasi...”
Namun, saya bersikukuh. Pendapat Goenawan Mohamad ini nampaknya kelewat fokus pada estetika puisi tersebut, dan tak banyak menghiraukan konteks sejarah dan keputusan pertanda yang dipakai dalam bahasa sang penyair – di mana bahasa mampu menjadi gambaran keadaan, persoalan zaman, dan apa yang sedang dibicarakan oleh masyarakat pada tahun 1948, ketika sajak tersebut ditulis. Seorang kawan malah tiba pada konklusi berbeda. Percakapan kami mengarah pada sejarah pesawat terbang dunia pada tahun 1948, dan ia berkata: “Barangkali, ini yang punya kaitan paling besar dengan Buat Gadis Rasid.”
Bait pertama dan kedua sajak tersebut jelas berkisah tentang keadaan dan kekayaan lingkungan. Anak-anak menjadi bagian penting dari semaraknya suasana di satu tempat – mereka tengah mempelajari lingkup hidupnya sembari mendewasa, sampai suatu saat nanti mampu membuktikan kepada dunia, dan kelak berkata: “Aku!” Hiperbola, dan stereotipe semangat muda semacam ini memang sering dipakai Chairil dalam sajak-sajaknya.
Dari sana, begitu banyak pertanyaan menggunung. Saya pun terdorong untuk mencari tahu lebih jauh mengenai hubungan Chairil Anwar dengan Gadis Rasid. Apalagi, keduanya pernah bekerja di tempat yang sama: sebuah majalah bernama Siasat.
Pencarian Pertama: Dari Chairil Anwar
Tahun 1949, Chairil pupus. Kematian itu tak lantas membuat namanya padam. Bahkan, ia terus terngiang di kepala pelukis legendaris Affandi, seolah kawannya itu benar ingin hidup seribu tahun lagi. Affandi sendiri memilih bungkam, dan tidak menghadiri pemakaman sahabatnya. Ia justru tertuntun untuk melunasi hutang melukis yang pernah diminta Chairil, seolah dari kubur pujangga itu mengomel: “Ayolah, lukis aku, Affandi. Sebab aku akan diingat di segala zaman...”
Setahun berlalu, omelan si Binatang Jalang itu seakan menghantui seniman lain. Tanpa Chairil, Tiga Menguak Takdir (Chairil, Asrul Sani, dan Rivai Apin) menulis Surat Kepercayaan Gelanggang. Buah pikir yang bisa mendefinisikan Chairil, sekaligus pokok ideologi dari para seniman Angkatan ‘45. Untuk memahami Chairil – pria kelahiran 26 Juli 1922 dan kutu buku yang congkak itu – perlu diingat bahwa ia adalah wujud dari semangat Angkatan ’45: terbuka pada pemikiran Barat, sekaligus amat nasionalis.
Semangat muda dan nasionalisme Chairil seolah menjadi tuntunan bagi seniman-seniman lain pada masanya. Mereka mencintai Bung Karno, namun tak segan membombardir retorika Sang Proklamator yang membatasi ekspresi berkesenian, dan bahkan tidak sungkan mencerca beliau. Mereka boleh jadi satu visi, namun mereka tidak jinak.
Sikap Chairil sebagai wakil suatu generasi merangsek di kepala anak-anak muda Angkatan ‘45 selama 7 tahun ia hidup di Jakarta. Ia datang tahun 1942, sampai komplikasi penyakit merenggut nyawanya pada tanggal 28 April 1949.
Dan, kematiannya yang sensasional itu tidak bisa dilihat sebagai akibat main gila dengan kupu-kupu malam saja. Kepergian Chairil adalah cerminan peliknya suasana sebelum dan sesudah Kemerdekaan, yang diwarnai dengan kemiskinan, kelaparan, dan rentannya perhatian terhadap kesehatan. Namun, pada saat itu pula Sjahrir, Hatta, dan Soekarno tengah meramu ideologi kebangsaan.
“Sekali berarti, sesudah itu mati.” Kata-kata Chairil itu seakan merangkum rasa ngeri, sekaligus menjadi definisi peran Angkatan ’45: sebuah masa di mana pemerintah dan seniman sama-sama keras kepala.
Kita mundurkan waktu sedikit untuk mencarinya, ketika ia masih hidup. Di sinilah kita temukan ia, di tempat yang paling sering ia kunjungi dan banyak mempengaruhinya: Pasar Senen.
Kawasan ini bersejarah bagi para seniman sejak 1940-an hingga 1950-an. Senen dipenuhi manusia-manusia kelas menengah-bawah, yang belum tentu tersentuh retorika Bung Karno. Tempat ini pula yang banyak mengilhami Chairil. Orang-orang Betawi, Minangkabau, Jawa, Ambon, dan Batak, kumpul semua di sana, berbicara dengan bahasanya masing-masing, dan berdagang – mulai dari barang seni, makanan daerah, buku, hingga kedai kopi.
Chairil sering bercakap-cakap sampai lupa waktu di sini, ditemani bergelas-gelas kopi yang seringnya tidak ia beli. Melainkan ditraktir, sebab ia jarang pegang uang, dan malah lebih sering mengutil duit orang. Lumayan: hasil cakap-cakap berhadiah itu kerap jadi bahan tulisan-tulisannya yang nangkring di Gelanggang, lembar kesenian dan kebudayaan majalah Siasat.
Alkisah, salah satu isu menarik yang kelak dijadikan sajak Buat Gadis Rasid bermula dari sini. Mungkin jika saya berandai-andai, terjadi percakapan seperti ini: “Sudah dengar, bung? A non-stop flight? Teknologi perang temuan Amerika paling ngeri, katanya.” Mulut-mulut di Pasar Senen sibuk membicarakan penemuan baru tersebut. Berita yang persis sama dengan apa yang dikatakan Gadis Rasid, di kantor Siasat.
Mendengar kabar teknologi perang ini, Chairil mendadak sontak teringat akan momen 10 Agustus 1945, ketika ia membeli radio bermerk Phillips dari Mevrouw Belanda yang sedang kesulitan ekonomi karena suaminya ditahan sekian lama oleh Jepang. Saat itu, semua pesawat radio disegel dan hanya satu frekuensi radio Jepang yang boleh didengar: Hosso Kyoku!
Radio Chairil ini kelak dibeli pula oleh Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia, untuk memantau siaran dari luar negeri. Dan kabar ini yang ia peroleh: “Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.”
Chairil bergegas ketika mendengar berita itu, lari menuju Komisi Bahasa Indonesia di Jalan Pegangsaan Timur nomor 23. Dari Chairil, Subadio Sastrasatomo mendapat berita kekalahan Jepang. Ia meneruskan berita tersebut pada kelompok-kelompok pemuda Indonesia, yang seolah mendapat kabar gembira. Berita itulah yang menghantar Indonesia menyatakan kemerdekaan kelak pada hari Jumat, 17 Agustus tahun 1945.
Namun, ada yang mengganjal di benak Chairil. “Berapa banyak kematian orang tua dan anak-anak tidak bersalah, akibat teknologi pembunuh yang mengerikan itu?
Pencarian Kedua: Buat Gadis Rasid
Pencarian saya terhadap sosok Gadis Rasid bermuara pada informasi ini: bahwa ia lahir tahun 1923 di Bangkinang, dan ia adalah penulis sekaligus jurnalis yang tertarik pada persoalan budaya, peran perempuan, pendidikan, dan anak-anak.
Gadis mendirikan harian Sinar Baroe bersama Hetami dan Parada Harahap di zaman penjajahan Jepang. Sayang, antara 1942 sampai 1943, surat kabar ini ditunggangi dan dijadikan media propaganda oleh pemerintah kolonial Jepang, untuk menegaskan bahwa Jepang berbeda dengan Belanda yang hanya memberikan akses pendidikan pada kalangan priyayi. Hal tersebut, semata-mata untuk menarik simpati dengan memanfaatkan ketimpangan kelas yang terjadi di pemerintahan Hindia-Belanda. Di surat kabar ini, Gadis mengelola rubrik Taman Kanak-Kanak. Karena membaca rubrik asuhannya, Taufiq Ismail cilik kelak terinspirasi untuk menjadi seorang penyair.
Pada 4 Januari 1947, Rosihan Anwar dan Soedjatmoko mendirikan majalah mingguan bernuansa politik, Siasat. Gadis Rasid diangkat menjadi Redaktur majalah itu sejak pertama didirikan. Di edisi perdana Siasat, Gadis menuliskan hasil percakapannya dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mr. R. Soewandi, dengan judul Pembangunan Dimulai dari Pengajaran. Ia menjadi Redaktur tetap sampai majalah tersebut berhenti terbit di tahun 1959.
Kantor Siasat dan surat kabar Pedoman – yang terafiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia besutan Sutan Sjahrir – berbagi kantor di daerah Gunung Sahari, Jakarta. Di sana pula, Gadis bertemu dengan Chairil Anwar, yang kemudian menjadi kontributor tetap di lembar kebudayaan Gelanggang.
Tidak ada catatan khusus mengenai bagaimana Chairil dan Gadis bertemu, meski lingkup kerja mereka sama. Yang jelas, mereka punya ketertarikan serupa. Chairil adalah keponakan Sjahrir, sedangkan Gadis adalah pemuja Sjahrir dan Bruno Kriesky; keduanya orang sosialis, cocok sudah dengan Chairil yang sosialis juga nasionalis.
Bisa jadi, kedekatan mereka bermula sejak Chairil mendapat kabar tentang bom atom Hiroshima-Nagasaki. Kala itu, Sjahrir sendiri yang mengutus Chairil menjadi kurir untuk menyampaikan berita tersebut kepada Subadio Sastrosatomo. Setelahnya? Tak ada catatan mengenai hubungan Chairil dengan Gadis dalam sejarah, hingga diterbitkannya buku kumpulan puisi Jang Terampas dan Jang Putuspada tahun 1949. Sajak Buat Gadis Rasid ada di sana.
Selain di Siasat, Gadis juga menulis beberapa buku mengenai budaya dan perempuan. Salah satunya adalah Sutan Takdir Alisjahbana: 10 Buah Interviu Berbagai-Bagai Soal Kebudajaan Di Tengah Perdjuangan Kebudajaan Indonesia, dan karya terakhirnya: Maria Ulfah Subadio, Pembela Kaumnya. Melalui buku biografi Maria Ulfah ini, cita-cita Gadis tersampaikan: menulis kisah seorang idealis yang sering mengkritik Bung Karno akibat sikapnya yang ultra-nasionalis, berpoligami dan gagap soal permasalahan kesetaraan perempuan.
Buku tentang Maria Ulfah ini pula yang menjadi karya penutup jalan hidupnya sebagai jurnalis sejati. Pada tanggal yang sama dengan kematian Chairil – 28 April – Gadis Rasid meninggalkan kita semua di tahun 1988.
Pencarian Ketiga: Dari Chairil Anwar, Buat Gadis Rasid
Percakapan ini mungkin pernah terjadi.
Kita kembali ke Pasar Senen, 1948. Seperti biasa, Chairil Anwar mengandalkan dan memanfaatkan nama besarnya sebagai penyair (yang miskin) untuk sekadar mendapatkan kopi gratis dari siapa saja yang mengidolakannya, dan mengajaknya bercengkrama. Tahun itu pula, Chairil mendengar seliweran berita yang jadi bahan kasak-kusuk para penghuni Senen. Tentang teknologi pesawat tempur air to air, dengan pengisian bahan bakar pesawat-ke-pesawat di udara, tanpa harus mendarat. Ia membayangkan pekik desing peluru di udara, menggerus kota-kota yang baru saja usai Perang Dunia II.
Jadwal ngantor Chairil memang seenak jidat. Bisa jadi, resah ini baru ia bawa ke kantor Siasat menjelang sore. Yang jelas, Chairil membagi wacana ini dengan perempuan yang ia idolakan, seorang jurnalis muda cerdas dengan tulisan yang dikenal kritis: Gadis Rasid.
“Baru tiga tahun usai Hiroshima-Nagasaki, sonderlupa dari pikirku!” keluh Chairil, seraya mengambil bangku dan langsung duduk. “Kini pesawat perang dengan teknologi non-stop flight? Gila! Bergidik!” Ia melotot dan mengedip liar ke segala arah, sembari mengeluarkan rokok yang kusut tertekuk dalam saku baju. Chairil menyalakannya, menghisap dalam-dalam, lantas menolehkan wajah membuang asap. Puff!
Sementara ia menginvasi Asia, di negaranya sendiri Jepang banyak ditinggali perempuan, anak-anak, dan sesepuh yang tidak dikirim berperang. Bahkan mungkin, orang-orang Jepang sendiri tidak tahu-menahu soal kejamnya tentara Dai Nipponketika menjajah Asia. Selama 3,5 tahun, mereka menyiksa habis negeri rempah di ujung Asia Tenggara. Sampai pada Agustus 1945, bom atom jatuh meluluhlantakkan Nagasaki dan Hiroshima, yang kemudian menjadi simbol dari perdamaian sekaligus ancaman teknologi perang!
Pikiran Chairil dan Gadis masih ada pada Agustus tahun 1945 itu. Ketika Nagasaki dan Hiroshima berubah menjadi daerah kosong dan kering, dengan bau yang menusuk tajam dari kematian-kematian manusia tidak berdosa. Di mana meskipun ada yang bertahan hidup, mereka mestilah menanggung risiko racun radiasi bom yang merusak secara fisik dan psikis.
"Mesin pembunuh lagi? Pesawat sonder mendarat dan berhenti untuk isi bahan bakar? Tetap terbang? Tetap menembaki?” Chairil nada bicaranya naik, tangannya bergerak menunjuk, debu rokok jatuh perlahan, “Gila!”
“Ah, Ril!” sahut Gadis, “Bom itu juga yang membuat Soekarno berdiri di depan podium Pegangsaan Timur. Otaknya yang serba nasionalis itu, mungkin tak sempat berpikir seperti kamu!” Keduanya menyunggingkan bibir, kecut. Berbincang mengenai a non stop flight dan kejahatan perang masa lalu, pastilah membuka memori panjang di keduanya sebagai anak yang dibesarkan di dua era jajahan; Hindia-Belanda dan Jepang.
“Jadi, ini pertanyaanku,” ucap Gadis, “Kemenangan macam apa yang didapat dari perang, Ril?”
Chairil termenung. “Sial juga pertanyaan itu,” batinnya. “Apa yang membedakan Jepang dari Indonesia? Mereka tidak segan membangun negaranya yang kini kecil di mata dunia. Tidak pula mengisar diri – mereka bangun bangsanya kembali dari nol, setelah dua kota itu diberangus. Mereka malah menghimpun dokter dan guru, sebagai malaikat penyelamat. Namun jika perang terjadi lagi, kemenangan apa yang didapat?”
“Tidak mendapat,” jawab Chairil, tidak pasti. “Kemerdekaan dan revolusi pun, tidak pernah bisa ditakar. Apalagi perang, bukan? Yang pasti... tidak ada. Tidak mendapat apa-apa.”
Gadis tersenyum lebar, sembari menyusun tumpukan kertas di atas meja redaksinya. “Jadi, sekarang kau sudah ada bahan bikin puisi untuk minggu ini, Ril?” godanya. “Buatlah itu untukku.” Chairil masih membayangkan jawabannya tadi. Sedangkan, kertas-kertas di meja redaksi itu telah rapi semua.
Rokok sebatang habis sudah, puntung mendarat di asbak. Gadis memang meminta Chairil membuat sajak. Persoalannya, sajak untuk dirinya sendiri atau untuk redaksi Gelanggang?
Tepatlah jika kegelisahan berbentuk sajak tersebut, kemudian diberi judul: Buat Gadis Rasid.

"Antara
daun-daun hijau
padang lapang dan terang
anak-anak kecil tidak bersalah, baru bisa lari-larian

burung-burung merdu
hujan segar dan menyebar
bangsa muda menjadi, baru bisa bilang ‘aku

Dan
angin tajam kering, tanah semata gersang
pasir bangkit mentanduskan, daerah dikosongi
Kita terapit, cintaku

- mengecil diri, kadang bisa mengisar setapak
Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpati

Terbang
mengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat
- the only possible non-stop flight
Tidak mendapat.”

Chairil Anwar, “Buat Gadis Rasid”, 1948

Pencarian Terakhir: Dari Gadis Rasid, Untuk Chairil Anwar
Namun Chairil mangkat pada tahun 1949, dan setahun kemudian Gadis Rasid menikah dengan Henk Rondonuwu. Bisa jadi, pernah ada kisah cinta antara keduanya. Atau bisa jadi, yang ada hanya ada kekaguman terhadap karya masing-masing, dan keterikatan yang terjadi karena cara pandang serupa.
Beruntung betul, pada tahun 2013 saya bertemu dengan Ibu Ratih Maduretno. Saya baru berhasil mewawancarainya pada tanggal 26 Oktober 2017, belum lama ini. Nama anak beliau Gadis Azzahra, diambil dari tokoh yang paling ia kagumi dalam hidupnya, dan sudah seperti sosok Ibu yang membesarkannya: Gadis Rasid.
Ratih adalah cucu dari Kasminten Kaston, salah satu anggota perempuan tertua di Partai Sosialis Indonesia (PSI). Anak dari Kasminten, Nanny Koestedjo, adalah Ibu kandung Ratih Maduretno. Dan Nanny adalah teman baik Gadis.
Sejak tahun 1974, Gadis sering berkunjung ke kediaman Kasminten di Jl. KH Mas Mansyur no. 110, Jakarta Pusat. Memang, dahulu rumah ini sering jadi tempat kumpul orang-orang eks-PSI dan alumni majalah Siasat: mulai dari Poppy Sjahrir (istri Sutan Sjahrir), Sudarpo, Soedjatmoko, Henk Rondonuwu, Maria Ulfah Subadio, dan tamu yang paling sering mampir, Gadis Rasid sendiri.
Hubungan Ratih dan Gadis begitu erat, sudah seperti Ibu dan anak. Antara 1974-1978, mereka nyaris tak terpisahkan. Gadis suka sekali memangku Ratih kecil, yang ketika itu baru berusia 7 tahun. Adapun pembicaraan mereka, para jebolan PSI dan Siasat yang terlunta-lunta di era Orde Baru ini, tidak begitu dipahami Ratih cilik.
Tahun 1978, Kasminten meninggal akibat stroke, tanpa sempat menyelesaikan buku yang ingin ia terbitkan mengenai kisah hidupnya sebelum dan sesudah kemerdekaan Indonesia. Setelah Kasminten tiada, Gadis memberikan hadiah buku kumpulan puisi Chairil Anwar pada cucunya yang berduka. Rupanya, itulah pertemuan terakhir Ratih dengan Gadis Rasid.
“Tante Gadis harus ke Medan,” kata Nanny pada Ratih, anaknya. “Buku Chairil itu buatmu, dari Tante Gadis!”
Ratih membuka kisah tentang Gadis Rasid: “Orangnya cantik, cerdas, tomboy, dan pintar main piano,” kenangnya. “Dia suka datang ke rumah bersama Om Henk Rondonuwu, karena mereka memang orang-orang PSI.”
“Saya inget di satu siang, Tante Gadis datang ke rumah pakai rok, dan keserimpet! Karena Tante memang selalu pake celana pendek atau panjang. Semua orang tertawa – dia memang tomboy!”
Ketika saya menanyakannya tentang Sukarno dan Angkatan ’45, Ratih menjawab, “Ibu Maria Ulfah, hampir semua pemikirannya selalu bertentangan dengan Bung Karno,” ucapnya. “Begitu kata Ibu. Sedangkan yang lain tidak. Semua satu visi dengan Bung Karno.”
Namun, jawabannya berbeda jika menanyakan sikap Sukarno terhadap perempuan. “Maria Ulfah, Poppy Sjahrir, Tante Gadis Rasid dan bahkan Ibu sendiri tidak pernah suka pada orang yang poligami,” kisah Ratih. “Apalagi mereka berempat memiliki sejarah yang sama. Orang tua mereka sama-sama poligami.”
Ia pun melanjutkan, “Tante Gadis bilang: ‘Jangan karena kamu perempuan, lalu dengan menjadi perempuan, malah menghalangi apapun yang kamu ingin lakukan!’ Cara bicaranya memang sangat lembut, tapi kata-katanya selalu tegas. Itu yang sama saya lihat pada anak saya, Gadis Azzahra.”
“Tante tidak memperlakukan saya dan mbak Irma (anak Gadis Rasid – red) seperti anak kecil,” tambah Ratna. “Menurutnya, anak-anak bisa diajak bicara tentang sikap dewasa, karena sikaplah yang membentuk cara pikir anak. Apalagi di anak perempuan.” Gadis, kenangnya, memang selalu memiliki perhatian berlebih terhadap anak-anak. Terutama karena ia berharap banyak kepada peran perempuan di masa depan.
Terakhir: “Kata Ibu, Chairil itu suka, bahkan jatuh hati sama Tante Gadis,”
“Di rumah ada piano, dan Tante Gadis itu jago main piano,” kenangnya. “Dia suka memainkan lagu You Are My Destiny, nama penyanyinya Paul Anka. Tante Gadis pasti senang sekali kalau sudah main lagu itu. Dia selalu bilang: ‘Ini lagu kesukaan Tante, untuk Chairil Anwar.’”
****
Bagi saya, Buat Gadis Rasid disusun sebagaimana novel yang memiliki kisah unik, juga sarat konflik. Maka, kurang ajar jika saya hanya berusaha mengelu-elukan budaya membaca sajak, tanpa menilik sejarah di balik sajak tersebut. Apalagi, sebetulnya saya ini bukan pembaca sajak yang rajin.
Jadi, saya cukup membuat lagu saja. Ketika cerita itu sudah saya pegang, saya merasa senang, sebab itulah satu-satunya cara saya bisa bertanggungjawab. Pada traktiran nasi goreng, pada buku pemberian itu, pada kawan saya. Dan terutama pada Chairil, dan Gadis Rasid.
Saya meminjam komputer milik kawan untuk merekam musikalisasi puisi tersebut. Versi awalnya, dengan 4 chord, ditulis pada Maret 2006 dan segera saya anulir. Jelek! Barulah saya ubah jadi versi 2 chord pada pertengahan April 2006.
Versi dua chord ini yang paling cocok. Seperti mantra, dengan nada yang terbatas dan berulang-ulang. Pilihan tepat untuk bernyanyi meliuk-liuk, dan membangun suasana serta emosi. Tiap kali pentas, lagu itu tidak pernah sama dengan rekaman. Semuanya diperlakukan sebagaimana pembacaan sajak: suasana dan tempat bisa menegosiasikan narasi, bahkan sebelum musik dimulai. Tahun 2010, saya mengaransemen ulang musikalisasi puisi ini dengan Deugalih & Folks. Penekanan sajak diperjelas melalui aransemen yang memadukan pengaruh jazz, nada gamelan, sedikit grunge, dan folk rock.
Buat Gadis Rasid adalah satu-satunya sajak milik orang lain yang pernah saya jadikan lagu, dan saya tidak tertarik mengulangi hal yang sama lagi. Saya tahu, saya terlalu suka dengan sejarah, dan kadang menyiksa diri sendiri jika tidak menemukan jawabannya. Untuk saya, sajak ini indah secara bahasa dan nuansa. Pun, memiliki kemarahan yang besar.
Ah! Lagipula, semua diawali karena lapar. Itu juga yang menjodohkan saya dengan Chairil: lebih sering lapar daripada kenyang. Kalau saja saya perut saya tidak keroncongan hari itu, barangkali cerita ini dan lagu itu tidak akan pernah ada... (*)

Penulis: Galih Nugraha Su
Editor: Raka Ibrahim
Ilustrasi: Yulia Saraswati
Tulisan ini dimuat di Jurnal Ruang, 3 November 2017

Monday, September 11, 2017

DEUGALIH - TANAHKU TIDAK DIJUAL (Live, Dari Ruang Kecil)

Deugalih - Tanahku Tidak Dijual (Live, Dari Ruang Kecil)


Sejarah Hidup & Tentang Tanahku Tidak Dijual


Video: Ibrahim Adi & Carda Arifin

Monday, August 28, 2017

VIDEO KLIP: DEUGALIH - TANAHKU TIDAK DIJUAL

Deugalih - Tanahku Tidak Dijual (official music video, 2017)

Tanggal Rilis: 25 Agustus 2017

Vokal, Gitar, Sadatana: Deugalih
Bas: Galant Yurdian
Gitar Melodi: Ali Dwi Julianto
Direkam di: Rumah Galant Yurdian (semua), InfiniteLab (sadatana)
Mixing & Mastering: Andry "Joe" Novaliano
Label: Omu Records

Juru Kamera: Elwando Sebastian
Aktor: Wanggi Hoed, Fado Amiha
Editing Video: Galih Su

VIDEO KLIP: DEUGALIH - DI KAMPUNGKU

Deugalih - Di Kampungku (official music video, 2017)

Tanggal rilis: 7 April 2017

Musik & Lirik: Deugalih
Mixing & Mastering: Andry "Joe" Novaliano
Direkam di: Rumah Galant Yurdian, Bandung
Label: Omu Records

Dokumentasi Video: Rivanlee Anandar
Editing Video: Nasrul Akbar
Desain Logo & Teks: Feransis

Thursday, July 4, 2013

LAGI RAJIN MELUANGKAN WAKTU LUANG

Dua tahun lalu saya diajari bikin Trees Of Life, Dreamcatcher dan Ojos de Dios oleh teman saya, Agnes Deno.  Akhirnya, yang paling pas buat saya dan punya tantangan, adalah bikin Ojos de Dios atau Mandala. 

Didukung si pacar juga sebenernya dia punya banyak alat dan bahan untuk merajut. Tiara lagi suka-sukanya bikin rajutan, tas dan boneka untuk gantungan kunci. Ya kebetulanlah. Sekalian sajalah alatnya saya pake juga buat bikin Ojos de Dios.

Thursday, January 31, 2013

PAPUA O NOUKAI



Saya membuat lagu ini, sebab tidak ada berita di koran dan televisi di pulau selain Papua yang mengingatkan hal ini adalah hal penting yang konon katanya kita menjunjung tinggi Hak Azasi Manusia. Di sana banyak pelanggaran Hak Azasi Manusia oleh aparat dan pemerintah kita sendiri. Lagu ini ada sebagai pengingat.
Dipersembahkan untuk Natan Tebai yang mengirim sajak-sajaknya kepada saya tentang keadaan Papua melalui surat elektronik pada saya di tahun 2012. Lagu ini selesai menjadi aransemen dasar sejak tanggal 31 Desember 2012. Akan diaransemen ulang oleh Deugalih & Folks.
Dan lirik pada lagu ini diambil dari kumpulan sajak Natan Tebai.
Bahasa yang dipakai pada lagu ini adalah bahasa Suku Mee, satu dari ratusan bahasa suku di Papua dan salahsatu suku yang hidup di tengah Freeport. Lagu ini, didedikasi untuk seluruh warga Papua bahwa adalah hak warga Papua untuk tidak dijajah, dieksploitasi dan dilupakan (baik untuk pendidikan, kesehatan, budaya, kekayaan alam dan ekonomi).
Terimakasih untuk Tiara Dewiyani yang menjadi penghubung Natan dan saya, terimakasih saya jadi banyak tahu tentang apa yang terjadi di Papua.
LIRIK
Papua ka tifa kou mananetiwei
Noukai makiyouga tifa kou nee ewei
O Noukai aniya makikou namadagai
O Noukai aniya makikou gaboo nayaikai
....
Tokilah tifa, di lembah Mama
Bunyikan tifa, anak Papua
O Mama, biarkan bangsaku tenang
O Mama, lindungi tanahku...
Papua O Noukai
(Deugalih, Natan Tebai, Tiara Dewiyani)
Cheers

Monday, December 17, 2012

KALATHIDA



Raden Ngabehi Rangga Warsita adalah seorang penyair, pujangga besar dari tanah Jawa. Ia berasal dari keluarga penyair keraton Surakarta yang termasyhur, yaitu keluarga Yasadipura. Rangga Warsita membuat syair-syair yang masih dikenal hingga saat ini. Salah satu syair yang terkenal yang merupakan karya besar Rangga Warsita adalah sebuah syair yang berupa wejangan, Serat Kalatidha. Serat Kalatidha adalah gambaran zaman yang disebut "zaman edan/zaman penuh kebingungan".

Raden Ngabehi Rangga Warsita lahir pada 14 Maret 1802 dengan nama asli Bagus Burham. Ayahnya seorang carik Kadipaten Anom yang bernama Raden Mas Pajangswara. Ibunya Raden Ayu Pajangswara merupakan keturunan ke-9 Sultan Trenggono dari Demak. Pada 24 Desember 1873, ia meninggal dunia. Tempat peristirahatan terakhirnya terletak di Palar, sebuah desa kecil di wilayah Klaten.

Kalatidha memiliki arti: zaman gila, zaman penuh keragu-raguan atau zaman edan. Karya sastra ini ditulis kurang lebih pada tahun 1860. Karya sastra ini berbentuk tembang macapat. Rangga Warsita menulis syair ini ketika pangkatnya tidak dinaikkan seperti diharapkan. Lalu ia menggeneralisir keadaan ini dan ia anggap secara umum bahwa zaman di mana ia hidup merupakan zaman gila di mana terjadi krisis. Saat itu Rangga Warsita merupakan pujangga kerajaan di Keraton Kasunanan Surakarta. Ia adalah pujangga terakhir Keraton Kasunanan Surakarta. Sebab setelah itu tidak ada pujangga kerajaan lagi.

Syair kalatidha menceritakan kondisi yang terjadi saat itu, yang disebabkan oleh raja yang lalim. Jika dikaitkan pada masa kini… maka silakan menyimak kembali saja sya'ir ini.

Tuesday, December 11, 2012

ALL WE NEED IS HAVE FUN, AT BABAKAN SILIWANGI


Deugalih & Folks. Live akustik di Sunday Smile Picnic, Babakan Siliwangi, Bandung.
Dokumentasi video: Andi Gondi (@andigondi)
This event created by: Gadis Azahra (@gadisazahra)


More:
visit: http://deugalihandfolks.com 

Sunday Smile Picnic, menjadi pelepas penat anak-anak muda Bandung bahkan yang dari luar kota Bandung, mereka menikmati hal seperti ini dengan sederhana, meski Sunday Smile Picnic diadakan hanya 3 bulan sekali. Kamu pun bisa membuat hal menyenangkan di sini seperti Sunday Smile Picnic, dengan cara kamu sendiri. Babakan Siliwangi adalah ruang publik yang tidak boleh dicemari tangan-tangan jahil.

Babakan Siliwangi memiliki tradisi yang terbentuk oleh anak mudanya. Ini menarik. Di mana mereka membawa makanan sendiri untuk dibagikan pada sesama pengunjung dan dengan begitu interaksi warga satu sama lain hampir tidak memiliki jarak. Saya pikir dengan tradisi ini, sangat positif, bahwa warga Bandung yang cerdas tidak perlu diingatkan "Hey, sumbangan yuk untuk dana anu-anu..." oh tidak perlu, sebab warga Bandung sudah terbiasa di sini dengan berbagi, seperti yang terjadi di setiap acara yang hadir di Babakan Siliwangi. Mereka bisa berbagi makanan ringan, buku, bibit tanaman dan apa saja yang bisa mereka bagi... sesuai dengan kebutuhan acara yang sedang dilangsungkan di hutan kota ini.

Dengan aktifnya berkegiatan di Babakan Siliwangi oleh anak-anak muda Bandung, tentu saja hal ini bisa membantu siswa-siswa sekolah dasar mempelajari mengenai hutan kecil dan kegunaan hutan di tengah kota yang dimiliki oleh mereka, dengan akses mudah serta menyenangkan. Sebab, selalu ada kegiatan menarik, menyenangkan dan edukatif di dalamnya. Seperti setiap minggunya kini diadakan kegiatan mainan rakyat, bersepeda, layar tancep, gelaran musik dan lain-lain.

All we need is have fun! Sebab bersenang-senang adalah hal yang paling kita suka dan sederhana.

Just make it simple, make it smart.

- Galih Su

VIDEO: DEUGALIH & FOLKS - ANAK SUNGAI (LIVE)

Live at Villa Husein, 2012.
documented by: Sunday Screen

VIDEO: DEUGALIH & FOLKS - EARTH (LIVE)

Deugalih & Folks. Live akustik, at Siera, Bandung.
Documented by: MalesBanget.com

VIDEO: KONSER KECIL DEUGALIH & FOLKS

Losari, Live at Beat & Bite, Februari 5th 2011.

Poem: Ageng Purna Galih (@sniboystempat) from Sungsang Lebam Telak (@sungsanglebam)
Music: Deugalih & Folks
Documented by: Gupta Ganesha (@guptaganesha)

River In The House, Live at Beat & Bite, Februari 5th 2011.

Lyric: Yadi Cubek
Music: Deugalih & Folks
Documented by: Gupta Ganesha (@guptaganesha)



***



Saturday, December 1, 2012

CATATAN MENGAJAR 25 OKTOBER 2012


Video teman-teman dari Kelompok Bengkirai sedang menyanyi lagu buatan mereka

Sudah satu bulan ini, akhirnya saya kembali aktif 'mengajar' yang lebih nyaman sebetulnya menemani anak-anak daripada disebut mengajar. Banyak kejutan yang saya temui dan tidak sedikit juga menemui kendala, yakni kendala harus menyesuaikan diri kembali dengan anak-anak, sebab sedari Idul Fitri sampai akhir bulan September saya tidak masuk sekolah; cukup lama absen dan bikin saya kangen... betul-betul kangen sama anak-anak.

Meski bingung dan masih lemas pada bulan pertama masuk sebab baru saja sehat, beberapa anak kelas 1 yang kini sudah kelas 2 meledek saya di amphy-teather, mereka nyanyi sambil bisik-bisik, Di masa depan, ada banyak pohon, robot-robot pintar dan kulkas pemasak. beberapa anak lain tertawa, salah satu anak melanjutkan bernyanyi dan tetap nyanyi bisik-bisik, Hey! robot penanam bunga! Rumahku di angkasa, sekolah pakai jetpack! mereka bernyanyi lagu karangan mereka ketika mereka kelas 1 SD, lagu yang dibuat mereka bersama saya .... ah sial! Anak-anak ini berhasil bikin saya senyam-senyum dan melanjut duduk mendekat pada mereka sambil nyanyi bareng lagu Bumiku Di Masa Depan yang mereka nyanyikan tadi ... ah gara-gara anak-anak ini, pingin rasanya segera aktif lagi dan segera masuk kelas mereka.

POM AIR

3 Mei 2012
Kelas musik untuk kelas 3 dan 4 dimulai pukul 07:30. Musik bisa dibilang, bagian dari komunikasi lanjutan dari perkembangan berbahasa, yakni menjadi bagian lirik. Anak-anak pernah bertanya, “Kak, apa hubungannya bercerita dengan musik?” Saya menjawab, “Bagaimana kamu bisa membuat lirik kalau kamu ngga punya cerita? Bagaimana kita bisa bercerita kalau kita ngga berimajinasi?”

Oke, cerita dimulai dulu ya. Begini…

“Kak Galih punya cerita, sebelum datang ke kelas kalian, aku berangkat dari Cijambe. Cijambe, Ujung Berung, pukul 6 pagi. Kamu tau? Daerah atas Cijambe setiap pagi, Kak Galih selalu sedih lihat pagi dengan kabut yang abu-abu bukan putih, ga seperti kabut seperti Kak Galih sewaktu masih seusia kalian, kabutnya putih, kalau bernapas dari mulut Kak Galih keluar asap, macam di Eropa pokoknya. Nah, berangkatlah Kak Galih, sampai depan jalan raya, kira-kira sudah 6:15, jalanan sudah mulai penuh kendaraan, hidung Kak Galih mulai gatal, aku alergi debu dan asap kotor, setiap pagi harus rela bersin-bersin kalau sudah di jalanan, yang kadang bikin repot orang-orang di angkot kalau Kak Galih naik, Kak Galih jadi sibuk sendiri deh akhirnya. Di angkot, ternyata angkotnya kosong, hanya ada 5 orang di sana, namun suasana di jalanan sangat macet meski di dalam angkot sini sepi. Kak Galih pikir Ada apa dengan jalanan, angkotnya kosong, kok macet. Orang-orang berbondong-bondong tiap pagi, seperti Kak Galih dan kalian, ada yang berangkat mengajar, bekerja dan sekolah. Selain penuh manusia, jalanan ini juga penuh asap, bikin ga betah deh pokoknya. Hmm, nah dari cuplikan cerita Kakak, ada yang mau bertanya dan berpendapat?” salahsatu anak mengacungkan tangannya “Seharusnya pakai kendaraan pribadi kalau di saat penting saja ya, Kak? Kalau kita masih sempat dan bisa pakai kendaraan umum, kenapa ngga.” Aku Tanya kembali, “Kamu ke sekolah naik apa?” dia menjawab “Mobil, Kak.” Aku mengangguk, “Tidak apa-apa, boleh kalian pakai kendaraan pribadi kok. Tapi, jangan lupa bertanggung-jawab, seperti menanam pohon agar polusi udaranya bisa dikurangi…” belum sempat meneruskan, anak-anak mengacung lagi, aku tunjuk, “Pakai kendaraan yang hemat energi juga, bisa mengurangi polusi, Kak. Naik sepeda contohnya.” …

BUMIKU DI MASA DEPAN

Video teman-teman Kelas 1 & 2 menyanyi lagu buatan mereka di Lembang 

Kamis 22 Maret 2012. Pukul 07:30 mengajar di kelas 3 dan 4. Dimulai dengan hearing session untuk kelas ini, yakni mendengarkan Jubing Kristanto - Mari Bergembira sebagai pembuka dan Beatles - When I'm Sixtyfour sebagai perkenalan membahas tema kali ini, yakni Petualang Waktu.

Aku tanya "Hmm, kalau kamu suatu hari umurnya 64. Seperti kata The Beatles ga ya? Temen-temen udah punya anak, pastinya Kak Galih udah kakek-kakek. Eh, sebelum kita ke masa depan, aku mau dongeng dari masa lalu dulu ya. Mari kita berangkat saat pertama kali manusia bermain alat musik. Setelah itu kita berangkat pada zaman mitologi Yunani tentang para Dewi Muse..." begitu kira-kira saya membuka perkenalan tentang Petualang Waktu dalam kaitannya dengan musik. Namun, saya cenderung suka anak-anak untuk sok tau terlebih dahulu, sebelum masuk pada wacana yang lebih luas, jadi saya gantungkan saja ceritanya dan saya ingin tau "Apa yang ada di pikiran anak-anak tentang masa depan mereka." Lalu saya bilang "Bagaimana, kalau kita bikin lirik? Ketika kalian sudah tidak di sekolah ini lagi?"

Anak-anak membagi menjadi 2 kelompok. Saya melihat kecenderungan, siapa yang mengendalikan tema dan siapa yang melanjutkan ide membuat lirik yang mereka buat.

Kelompok 1 bercerita ketika mereka pernah bermain dan belajar menyenangkan di sini. Ada satu ba'it lirik menarik di kelompok ini: Di masa depan, kita semua akan lebih bertanggung-jawab. Pada ba'it sebelumnya mereka bercerita tentang suka-duka di sekolah ini, mereka ingin sekali ngobrol dengan Kepala Sekolah ketika mereka lulus dari sekolah ini dan berbincang tentang banyak hal seputar sekolah ini dan ketika saya tanya "Aku ingin ngobrol apa aja, Kak. Aku juga ingin berbagi pendapat tentang sekolah dan pengalaman selama aku sekolah di sini." Saya anggguk-angguk, "Oke, kalian berani ga?" Mereka bilang, "Ya berani dong, Kak!"

PURAKA

Puraka berarti nafas yang teratur dalam seni Yoga. Ada pula yang menyebutkan arti Puraka adalah yang paling dekat dengan kehidupan manusia. Salah satu yang terdekat dalam hidup manusia, adalah perbedaan dan belajar memahami.


****

Hanya berbagi. Lirik ini diambil dari prasasti yang tertulis 1.300 tahun yang lalu; bagian warisan kekayaan intelektual dan spiritual, nenek moyang kita sendiri, satu dari bagian Prasasti Karang Tengah. Jika kita mencari yang tertulis pada bagian verse ini, tidaklah terdokumentasi dengan baik di negeri sendiri. Namun tersimpan baik oleh seorang filolog asal Belanda, Johannes Gijsbertus de Casparis, yang tercatat dalam bukunya Prasasti I: Inscripties uit de Çailendra-tijd, (1950). Mengenai inkarnasi (menubuh) dan re-inkarnasi (kembali menubuh).

Di balik kejadian yang ada dalam lagu ini, adalah ceritera mengenai kerukunan yang sering menjadi masalah di negeri ini sejak ribuan tahun lalu.

****

Puraka di balik lirik Deugalih & Folks, menyimpan cerita dari sejarah yang berulang-ulang di masa-lalu hingga kini, selama manusia masih hidup atau bernafas. Di balik syair masalalu yang lahir dari puncak kerukunan dan kedamaian yang terbentuk. Ini adalah sumber di balik cerita Puraka manusia ini pernah terjadi:

Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa, Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jiwatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Konon Buddha dan Shiwa merupakan dua zat yang berbeda, memang berbeda, namun bagaimana bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Shiwa adalah tunggal. Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
- KAKAWIN SUTASOMA. 139, 5

Di zaman Majapahitada 9 sekte kepercayaan Hindu dan Buddha yang dipeluk oleh masyarakatnya yang menyebar sampai ke Bali dan semuanya hidup rukun dan tidak ada perselisihan. Yang dimaksudkan dari kakawin tersebut adalah: Sesungguhnya Tuhan hanya satu, tidak ada Tuhan yang ke dua. Yang dimaksud adalah Tuhan bagi Buddha dan Shiwa. Yang merupakan dua agama terbesar di era itu.

MELIHAT LAGU ANAK DARI BERBAGAI SISI

Saya adalah seorang yang lebih memercayai pengalaman dibanding hanya membaca saja, pun hal ini terjadi sebab jarangnya referensi yang membahas musik anak, dengan harapan sesedikitnya bisa saya kutip. Jadi walhasil tulisan ini pun, lebih mengarah pada apa yang saya alami. Semoga bermanfaat :)

***

Hari itu saya bertemu Ray, anak usia 4, dia bilang "Om, bikin lagu dong. Lagu tentang mobil, mobil truk. Mobil truk yang terbang ke langit. Di langit truknya ketemu burung." Saya mengernyit dahi apa anak ini ketularan bahasa sehari-hari saya ya? Saya bilang sama si Ray, "Nah loh Ray, susah dong bikin lagunya? Burungnya nyupir truk ngga?" Ray jawab "Iya!" dia lanjut dengan ketawa.

Baru saja kemarin saya ngobrol dengan Luthfi Adam yang me-request "Gal, buatin lagu anak." saya bilang, oke. Namun permasalahannya dalam kepala orang dewasa seperti saya dan Upil (Luthfi) yakni, anak-anak itu pikirannya sederhana dan lugas. Nah, setelah mendengar Ray, pendapat saya tentang sederhana... saya hapus. Anak seperti Ray, ternyata psychedelic banget (hahaha).

Lalu saya mulai berpikir tentang ketertarikan anak terhadap nada. "Hap! Lalu ditangkap." di sini, ledakan-ledakan seperti "Hap!", "Dor!", "Kring, kring, kring!" sepertinya memang jadi bagian favorit yang ditunggu anak-anak dalam satu lagu. Terbukti hampir setiap anak yang saya temui jika dalam kondisi mood yang baik akan mengucap "Hap!" dengan penuh semangat. Atau dengan kata lain, anak-anak sangat menyukai kejutan. Di lain hal, saya temui banyaknya lagu anak yang memakai non-lingua seperti "Tuk tik tak tik tuk" lalu "Dudidudi damdam dudidudi dam" atau lebih ekstrim lagi seperti "cukicakicu cukicakici" dan "Hoy nana hoy zimi zimi hoy nana hoy." Nah oke, saya simpan buat referensi jika sedang buat lagu untuk anak.

Yang ke dua. Saya bertanya pada Upil "Lagu anak?" Upil menjawab "Yang nadanya simpel, Gal. Yang anak-anak bisa nyanyi." secara tidak langsung, kembali, dalam pikiran orang dewasa seperti saya dan Upil melihat bahwa anak-anak belum mampu bernyanyi dengan nada yang sulit, apalagi untuk usia balita.

MENYELAM DAN TUMBUH

Menyelam dan Tumbuh

Tempatku di dalam mata air,
lebar kulihat terang matahari.

Jariku menyentuh matahari,
yang berenang tenang di mata air.


- Di antara udara, di antara tanah.

Galih Su, 2 Januari 2011. Remake dari Night, Secret, Patient And Float - November 2009


Lagu ini remake. Tadinya judulnya Night, Secret, Patient And Float. Lagu itu tentang bersabar, menjaga rahasia diri agar segala yang terhubung dengan diri tetap terjaga satu dengan yang lain, juga tentang hidup di waktu malam yang tenang yang selalu membuat saya selalu berangan dan berpikir menjadi seseorang yang dewasa, kelak. Sebelum lagu ini berubah judul dan berubah lirik (tadinya tidak berlirik).

Lagu ini dibuat ulang dengan judul Menyelam Dan Tumbuh. Sebab, mimpi pertama saya di awal Januari adalah mencuri bulan. Ceritanya begini:

Dua sahabat saya bilang saya harus menghapus bulan. Mereka bilang "Gal, curi bulannya!" saya bilang "Ada apa dengan bulan?" mereka menjawab "Bukan bulannya, Gal." Saya bingung, maksud mereka apa? ... Atas dasar tidak mau ambil pusing, jadi saya segera menggenggam bulan dan hup! Bulan, hilang begitu saja.

Ada sedikit kekhawatiran sebetulnya setelah bulan hilang akibat saya. Perlahan-lahan suasana berubah menjadi pagi setelah bulannya hilang dari malam. Memang dasar mimpi, dua teman saya pun hilang begitu saja, tapi entah mengapa saya kepingin bilang "Terimakasih." Tapi ya sudahlah, kadang terimakasih tidak perlu pakai batasan orangnya ada atau tidak, berterimakasih sajalah meskipun dua teman saya itu tring! zaaaaap! hilang!

KEPINGINNYA SIH BIKIN SEKOLAH

Kalo liat pendidikan di Indonesia, memang udah enak dari segi fasilitas, terutama bagi yang di kota. Laboratorium bahasa, laboratorim kimia, perpustakaan yang muat bayak ensiklopedia dan lain sebagainya. Dan guru pun upahnya tidak sekecil era tahun 80-90an, memang begitulah seharusnya, jika pendidikan kita ingin maju... ya semestinya pula kesejahteraan guru pun dipertimbangkan agar tidak terjadi kemalasan dan sistem yang begitu-begitu saja dalam pola pengajaran; dengan kesejahteraan yang cukup pula akan mendukung perubahan dan perkembangan yang positif dalam pendidikan, sebab pikiran guru-guru ini tidak tertuju pada isi perut, bagaimana kasih makan anak mereka, dan saya yakin tekanan di rumah sangat berpengaruh pada kondisi guru ketika mengajar.

Tapi di daerah, banyak juga yang bikin miris. Seperti tempat sekolah ibu saya mengajar sewaktu saya kecil; temboknya jamuran dan mau bobrok kelihatannya. Meskipun dari segi bangunan seperti mau runtuh, sekolah di tempat ibu sangat menarik untuk anak seperti saya... sebab banyak alat-alat musik tradisional seperti gamelan, buku-buku dongeng, koleksi wayang golek (meskipun hanya ada Cepot, Gatotkaca dan Semar) yang bikin saya kepingin belajar dan akhirnya lancar berbahasa sunda sebab bermain menjadi dalang (padahal saya dibesarkan di daerah yang subur dengan budaya wayang kulit dan wayang wong) dan tentunya koleksi Majalah Kuncung yang lengkap! Nah, coba tebak? Itu kan dari uang koperasi, kadang dari uang pribadi dari gaji mereka tentunya... huff, zaman itu, memang zaman ajaib; yah bisa jadi wajar ketika guru-guru ini kelaparan dan bikin proyek atas nama "Sumbangan Pembangunan Sekolah." yang sudah tidak asing lagi di kuping saya ketika saya SD.

AGIB DAN KRAYON

Saya punya teman, sahabat paling muda yang ceria dengan caranya sendiri. Usianya beranjak menuju 4 tahun. Nama lengkapnya, tidak pernah saya tau. Namanya Agib, Agib adalah cucu dari Ibu pemilik Kost di area Ngeumong Cafe and Library. Dan kita punya kesamaan yang banyak, mungkin mirip saya waktu kecil; sekitar krayon, bercerita tentang gambar yang dibuat susah-payah, lalu beratraksi menjadi barang-barang sekitar atau meniru benda yang dia gambar -- kata Agib "Agib lagi jadi kursi, didudukin orang-orang, dieeem aja." Agib memang unik, jago menggambar namun tidak kenal huruf dan angka dan ... Si Agib, jarang mandi! Bau! Apalagi kepalanya, bau matahari nempel sampe malem, sebab ga mandi dan kabur terus kalo disuruh mandi sama Si Ibu. Haha, penerus aing! Mana ada orang yang bilang mukanya mirip dengan saya pula, kasian dong kalo mirip, untung tuh bocah kulitnya putih -- kalo item, yah ampun deh, kembar jadinya ma gue.

"Om Galiiiihh, Agib gambar dooong." Seperti biasanya dia muncul sore sekitar pukul 3, dengan langkah kakinya yang tidak bisa berjalan dengan lambat. Langsung saja dia dengan tidak basa-basi, menuju saya yang sedang duduk tidak melakukan apa-apa jadi tambah cerah dengan tingkahnya yang petakilan, sebab ini bocah seenak-jidat saja ambil posisi duduk di paha saya, sambil merajuk minta diambilkan kertas dan krayon sambil menarik-narik baju. Ya terpaksa sudah harus menurut.