Kalo liat pendidikan di Indonesia, memang udah enak dari segi
fasilitas, terutama bagi yang di kota. Laboratorium bahasa, laboratorim
kimia, perpustakaan yang muat bayak ensiklopedia dan lain sebagainya.
Dan guru pun upahnya tidak sekecil era tahun 80-90an, memang begitulah
seharusnya, jika pendidikan kita ingin maju... ya semestinya pula
kesejahteraan guru pun dipertimbangkan agar tidak terjadi kemalasan dan
sistem yang begitu-begitu saja dalam pola pengajaran; dengan
kesejahteraan yang cukup pula akan mendukung perubahan dan perkembangan
yang positif dalam pendidikan, sebab pikiran guru-guru ini tidak tertuju
pada isi perut, bagaimana kasih makan anak mereka, dan saya yakin
tekanan di rumah sangat berpengaruh pada kondisi guru ketika mengajar.
Tapi
di daerah, banyak juga yang bikin miris. Seperti tempat sekolah ibu
saya mengajar sewaktu saya kecil; temboknya jamuran dan mau bobrok
kelihatannya. Meskipun dari segi bangunan seperti mau runtuh, sekolah di
tempat ibu sangat menarik untuk anak seperti saya... sebab banyak
alat-alat musik tradisional seperti gamelan, buku-buku dongeng, koleksi
wayang golek (meskipun hanya ada Cepot, Gatotkaca dan Semar) yang bikin
saya kepingin belajar dan akhirnya lancar berbahasa sunda sebab bermain
menjadi dalang (padahal saya dibesarkan di daerah yang subur dengan
budaya wayang kulit dan wayang wong) dan tentunya koleksi Majalah
Kuncung yang lengkap! Nah, coba tebak? Itu kan dari uang koperasi,
kadang dari uang pribadi dari gaji mereka tentunya... huff, zaman itu,
memang zaman ajaib; yah bisa jadi wajar ketika guru-guru ini kelaparan
dan bikin proyek atas nama "Sumbangan Pembangunan Sekolah." yang sudah
tidak asing lagi di kuping saya ketika saya SD.
Oke cerita di
atas disudahi dulu. Hal inilah yang bikin saya kepingin punya sekolah
dengan konsep yang terbaik, yakni yaaa ketika saya punya uang (hahah,
amiiin).
***
Waktu saya
SD, ibu saya pasti sehabis pulang ngajar selalu bawa cerita baru
tentang anak-anak. Maklum, sampe hari ini, dia cuman pingin ngajar
Kelas 1 SD, meskipun sekarang jadi kepala sekolah, kayaknya dari berita
terakhir, ibu pengen pindah, terus ngajar lagi di kelas 1.
Dipikir-pikir,
kenapa juga sampe dia betah? Padahal hidupnya sepanjang jadi guru
banyak potongan gaji, pernah sampe rumah dia hanya bawa slip gaji hanya
beberapa puluhribu rupiah saja. Tapi, entah gimana caranya, dia punya
banyak cerita menyenangkan tentang anak-anak.Jadi gaji, kayaknya lupa
dengan begitu saja, dia pun tau gimana cara bikin anaknya senang,
meskipun kita makan pas-pasan.
Saya sejak kecil memang penasaran
dengan ibu. Selalu bawa kejutan-kejutan, lalu mengapa anak-anak bisa
suka dia, sama seperti saya suka dia. Kadang iri..., kenapa juga saya
ga sekolah di tempat ibu ngajar? Alasannya dulu, sebab sekolah SD saya
paling bagus di kota dari segi dari kualitasnya jika dibandingkan
sekolah tempat ibu ngajar. Namun yang terjadi, bayaran lagi, bayaran
lagi, ibu saya sampe bingung, kok sekolah tempat saya banyak
bayarannya? Lagi, ibu pernah tersinggung, ketika saya banyak tanya di
sekolah saya, malah saya disuruh diam sama guru saya, kata ibu ketika
saya pulang ke rumah "Kan harusnya anak macam ini, didukung." Tapi, itu
sekolah zaman saya kecil, saya juga ga tau sekolah yang sekarang macam
apa... Yang jelas, sekolah yang menjual prestige dan bergaya, atau mahal malahan, tidak menjamin kualitas murid; yah begitu yang saya alami.
Khas
dia adalah dongeng, setiap pagi di hari minggu yang saya minta pasti
ada. Tadinya sekitar anak-anak sekolahnya. Saya ga bosen, sebab ada
saja tingkah satu anak yang dia buat seperti cerita bersambung. Namanya
Budhi, dia anak paling badung yang pernah ibu kenal selama masa ia
menjadi guru, tapi ibu suka, Budhi juga deket sekali sama ibu. Giginya
grepes, sama dengan gigi saya, kalo dia cerita, saya suka, sebab
sepertinya dia tau saya menunggu cerita apa dan menunggu kata-kata
apalagi, ibu kadang-kadang mirip cenayang, dia menunggu saya bertanya
dan nanti dia jawab seperlunya; ah itu, itu yang bikin saya betah. Kalau
malam datang, dia masih puya tenaga, dongeng berlanjut, bukan hanya
tentang anak sekolah, tapi intinya menekankan saya untuk mencaritahu
dengan mandiri lalu kalau saya tidak mampu menjawab, berarti ini
saatnya bertanya.
Dari sana, saya kepingin jadi guru dan punya
sekolah. Hmm, sekolah ibu itu pas-pasan dan jauh dari kata cukup...
alias sekolah desa, jauh dari sebutan layak untuk segi fasilitas. Tapi
entah, kenapa anak-anak muridnya sampai dewasa pun yang umurnya sudah
30an atau seumur saya masih ingat ibu, dan banyak yang bilang dia guru
terbaik; Budhi si anak badung contohnya, pernah ia datang ke rumah
ketika dia sudah berhasil hanya untuk bilang "Terima kasih." Ya, sejak
itu makin banyak pertanyaan untuk saya, ada apa dengan ibu? Padahal
fasilitas di sekolah tidak banyak mendukung anak-anak murid. Ada satu
hal yang spesial dari ibu, begitulah saya pikir.
Salahsatu yang
saya percaya adalah: bermain, merangkai sesuatu, dan bahasa yang ibu
pakai. Saya yakin, dia pakai bahasa yang tepat, dan mood yang terjaga
dengan baik. Kalau tidak begitu, saya yakin dia ga mungkin juga
semangat cerita pada saya.
Duit saya di kantung awal bulan saja
Rp. 3.000. Darimana dan kapan bisa bikin sekolah? Hahahah.... Bahkan
untuk urus perpustakaan nomaden ini mulai bikin kesal, ongkos saja
kadang keteteran, sampe harus malang sana-sini, baru bisa beli buku
baru. Tapi itu menyenangkan. Saya pingin punya sekolah!
Sekolah
yang saya buat, semua murid bisa bercerita, cerita yang bikin mereka
bertahan sesuai usia mereka yang menjaga mereka tetap kuat dalam
imajinasi dan tidak cepat memuat banyak keinginan yang berlebihan pada
anak yang bisa membuat mereka terlalu cepat dewasa dan mudah stress;
terkecuali passion mereka, biarkan saja. Apapun caranya. Mungkin dengan
referensi bacaan menarik, bermain alakadarnya yang bisa mereka rangkai
sendiri, atau saya menyusun cerita menarik, bisa saja, dan mampu
membuat mereka berani dengan keterbatasan yang mereka punya. Dari
bercerita macam inilah, mereka suatu hari tidak gugup berbahasa dan
berkomunikasi. Dari pemilahan bahasalah orang bisa dinilai bahwa dia
cerdas atau harus belajar lagi. Kalau saja, suatu hari tercapai. Kalau
tidak? Setidaknya pernah ditulis, kali-kali ada yang keinspirasi....
Zaman
memang bicara, bahwa teknologi sebagai teman dan musuh. Zaman memang
bicara, keterbatasan semakin berjarak kini, jika tidak memiliki
keinginan. Zaman bicara, pilihan hidup yang baik meskipun sehina
apapun, tidak boleh diganggu-gugat. Mungkin, satu hal yang perlu
dibagi adalah menghargai kemampuan, yang jarang saya lihat di
Indonesia, hanya dilihat ketika sudah menjadi besar. Tidaklah mungkin
besar jika tidak pernah kecil.
Yang unik dari ibu adalah
bercerita tentang orang-orang yang disebut "orang besar", meskipun
profesinya di mata khalayak adalah sesuatu yang kecil dan seperti
selintas melewat lalu menghilang, dia tidak pernah membuat tokoh utama
dengan apa yang dia perbuat adalah hina dan remeh-temeh. Kalau saja dia
bukan ibu saya, dan ada di masa kini, pernah saya kepikiran... pasti
saya jatuh cinta. Hahaha, sudah ah.
Tidak ada tiket jalur khusus, untuk jadi pintar dan cerdas mendadak. Tidak perlu ada obatnya.
Huff,
kalau saya punya uang banyak, saya mau bikin sekolah daripada beli
rumah, mending saya tinggal di sekolah saja, sekolah yang dekat dengan
alam, di mana anak-anak bisa bermain dan bernafas tanpa polusi. Aih,
mungkin polusi itu bagian dari fasilitas di Indonesia hari ini....
Mungkin. Ah, semoga tercapai yaa... Amiiin... Mungkin dari
cicilan-cicilan untuk buku di perpustakaan yang dibantu Adi, mungkin
dengan profesi hari ini sebagai pemusik dan apapun yang saya perbuat,
bisa mendukung kemauan saya yang satu ini. Sebab untuk menjaga sekolah
milik pribadi yang ideal, setidaknya basis ekonomi yang saya rancang
tidaklah sepenuhnya dipusatkan pada sekolah, "Dude... it's impossible!"
Begitu kata Adi, partner saya berbagi berbagai macam hal. Kalau
cita-cita saya tidak kesampean sebab uang saya ga sampe untuk bikin
sekolah? Kalian saja ya yang bikin, semoga tulisan ini menjadi racun
yang baik :)
Bikin
sekolah bukan tentang mengumpulkan pahala, tapi kesadaran sebagai
manusia seutuhnya... yakni berbagi. Sebagaimana tujuan tulisan ini
dibuat, teman-teman, untuk berbagi.
No comments:
Post a Comment