Saturday, December 1, 2012

KEPINGINNYA SIH BIKIN SEKOLAH

Kalo liat pendidikan di Indonesia, memang udah enak dari segi fasilitas, terutama bagi yang di kota. Laboratorium bahasa, laboratorim kimia, perpustakaan yang muat bayak ensiklopedia dan lain sebagainya. Dan guru pun upahnya tidak sekecil era tahun 80-90an, memang begitulah seharusnya, jika pendidikan kita ingin maju... ya semestinya pula kesejahteraan guru pun dipertimbangkan agar tidak terjadi kemalasan dan sistem yang begitu-begitu saja dalam pola pengajaran; dengan kesejahteraan yang cukup pula akan mendukung perubahan dan perkembangan yang positif dalam pendidikan, sebab pikiran guru-guru ini tidak tertuju pada isi perut, bagaimana kasih makan anak mereka, dan saya yakin tekanan di rumah sangat berpengaruh pada kondisi guru ketika mengajar.

Tapi di daerah, banyak juga yang bikin miris. Seperti tempat sekolah ibu saya mengajar sewaktu saya kecil; temboknya jamuran dan mau bobrok kelihatannya. Meskipun dari segi bangunan seperti mau runtuh, sekolah di tempat ibu sangat menarik untuk anak seperti saya... sebab banyak alat-alat musik tradisional seperti gamelan, buku-buku dongeng, koleksi wayang golek (meskipun hanya ada Cepot, Gatotkaca dan Semar) yang bikin saya kepingin belajar dan akhirnya lancar berbahasa sunda sebab bermain menjadi dalang (padahal saya dibesarkan di daerah yang subur dengan budaya wayang kulit dan wayang wong) dan tentunya koleksi Majalah Kuncung yang lengkap! Nah, coba tebak? Itu kan dari uang koperasi, kadang dari uang pribadi dari gaji mereka tentunya... huff, zaman itu, memang zaman ajaib; yah bisa jadi wajar ketika guru-guru ini kelaparan dan bikin proyek atas nama "Sumbangan Pembangunan Sekolah." yang sudah tidak asing lagi di kuping saya ketika saya SD.

Oke cerita di atas disudahi dulu. Hal inilah yang bikin saya kepingin punya sekolah dengan konsep yang terbaik, yakni yaaa ketika saya punya uang (hahah, amiiin).

***

Waktu saya SD, ibu saya pasti sehabis pulang ngajar selalu bawa cerita baru tentang anak-anak. Maklum, sampe hari ini, dia cuman pingin ngajar Kelas 1 SD, meskipun sekarang jadi kepala sekolah, kayaknya dari berita terakhir, ibu pengen pindah, terus ngajar lagi di kelas 1.

Dipikir-pikir, kenapa juga sampe dia betah? Padahal hidupnya sepanjang jadi guru banyak potongan gaji, pernah sampe rumah dia hanya bawa slip gaji hanya beberapa puluhribu rupiah saja. Tapi, entah gimana caranya, dia punya banyak cerita menyenangkan tentang anak-anak.Jadi gaji, kayaknya lupa dengan begitu saja, dia pun tau gimana cara bikin anaknya senang, meskipun kita makan pas-pasan.

Saya sejak kecil memang penasaran dengan ibu. Selalu bawa kejutan-kejutan, lalu mengapa anak-anak bisa suka dia, sama seperti saya suka dia. Kadang iri..., kenapa juga saya ga sekolah di tempat ibu ngajar? Alasannya dulu, sebab sekolah SD saya paling bagus di kota dari segi dari kualitasnya jika dibandingkan sekolah tempat ibu ngajar. Namun yang terjadi, bayaran lagi, bayaran lagi, ibu saya sampe bingung, kok sekolah tempat saya banyak bayarannya? Lagi, ibu pernah tersinggung, ketika saya banyak tanya di sekolah saya, malah saya disuruh diam sama guru saya, kata ibu ketika saya pulang ke rumah "Kan harusnya anak macam ini, didukung." Tapi, itu sekolah zaman saya kecil, saya juga ga tau sekolah yang sekarang macam apa... Yang jelas, sekolah yang menjual prestige dan bergaya, atau mahal malahan, tidak menjamin kualitas murid; yah begitu yang saya alami.

Khas dia adalah dongeng, setiap pagi di hari minggu yang saya minta pasti ada. Tadinya sekitar anak-anak sekolahnya. Saya ga bosen, sebab ada saja tingkah satu anak yang dia buat seperti cerita bersambung. Namanya Budhi, dia anak paling badung yang pernah ibu kenal selama masa ia menjadi guru, tapi ibu suka, Budhi juga deket sekali sama ibu. Giginya grepes, sama dengan gigi saya, kalo dia cerita, saya suka, sebab sepertinya dia tau saya menunggu cerita apa dan menunggu kata-kata apalagi, ibu kadang-kadang mirip cenayang, dia menunggu saya bertanya dan nanti dia jawab seperlunya; ah itu, itu yang bikin saya betah. Kalau malam datang, dia masih puya tenaga, dongeng berlanjut, bukan hanya tentang anak sekolah, tapi intinya menekankan saya untuk mencaritahu dengan mandiri lalu kalau saya tidak mampu menjawab, berarti ini saatnya bertanya.

Dari sana, saya kepingin jadi guru dan punya sekolah. Hmm, sekolah ibu itu pas-pasan dan jauh dari kata cukup... alias sekolah desa, jauh dari sebutan layak untuk segi fasilitas. Tapi entah, kenapa anak-anak muridnya sampai dewasa pun yang umurnya sudah 30an atau seumur saya masih ingat ibu, dan banyak yang bilang dia guru terbaik; Budhi si anak badung contohnya, pernah ia datang ke rumah ketika dia sudah berhasil hanya untuk bilang "Terima kasih." Ya, sejak itu makin banyak pertanyaan untuk saya, ada apa dengan ibu? Padahal fasilitas di sekolah tidak banyak mendukung anak-anak murid. Ada satu hal yang spesial dari ibu, begitulah saya pikir.

Salahsatu yang saya percaya adalah: bermain, merangkai sesuatu, dan bahasa yang ibu pakai. Saya yakin, dia pakai bahasa yang tepat, dan mood yang terjaga dengan baik. Kalau tidak begitu, saya yakin dia ga mungkin juga semangat cerita pada saya.

Duit saya di kantung awal bulan saja Rp. 3.000. Darimana dan kapan bisa bikin sekolah? Hahahah.... Bahkan untuk urus perpustakaan nomaden ini mulai bikin kesal, ongkos saja kadang keteteran, sampe harus malang sana-sini, baru bisa beli buku baru. Tapi itu menyenangkan. Saya pingin punya sekolah!

Sekolah yang saya buat, semua murid bisa bercerita, cerita yang bikin mereka bertahan sesuai usia mereka yang menjaga mereka tetap kuat dalam imajinasi dan tidak cepat memuat banyak keinginan yang berlebihan pada anak yang bisa membuat mereka terlalu cepat dewasa dan mudah stress; terkecuali passion mereka, biarkan saja. Apapun caranya. Mungkin dengan referensi bacaan menarik, bermain alakadarnya yang bisa mereka rangkai sendiri, atau saya menyusun cerita menarik, bisa saja, dan mampu membuat mereka berani dengan keterbatasan yang mereka punya. Dari bercerita macam inilah, mereka suatu hari tidak gugup berbahasa dan berkomunikasi. Dari pemilahan bahasalah orang bisa dinilai bahwa dia cerdas atau harus belajar lagi. Kalau saja, suatu hari tercapai. Kalau tidak? Setidaknya pernah ditulis, kali-kali ada yang keinspirasi....

Zaman memang bicara, bahwa teknologi sebagai teman dan musuh. Zaman memang bicara, keterbatasan semakin berjarak kini, jika tidak memiliki keinginan. Zaman bicara, pilihan hidup yang baik meskipun sehina apapun, tidak boleh  diganggu-gugat. Mungkin, satu hal yang perlu dibagi adalah menghargai kemampuan, yang jarang saya lihat di Indonesia, hanya dilihat ketika sudah menjadi besar. Tidaklah mungkin besar jika tidak pernah kecil.

Yang unik dari ibu adalah bercerita tentang orang-orang yang disebut "orang besar", meskipun profesinya di mata khalayak adalah sesuatu yang kecil dan seperti selintas melewat lalu menghilang, dia tidak pernah membuat tokoh utama dengan apa yang dia perbuat adalah hina dan remeh-temeh. Kalau saja dia bukan ibu saya, dan ada di masa kini, pernah saya kepikiran... pasti saya jatuh cinta. Hahaha, sudah ah.

Tidak ada tiket jalur khusus, untuk jadi pintar dan cerdas mendadak. Tidak perlu ada obatnya.

Huff, kalau saya punya uang banyak, saya mau bikin sekolah daripada beli rumah, mending saya tinggal di sekolah saja, sekolah yang dekat dengan alam, di mana anak-anak bisa bermain dan bernafas tanpa polusi. Aih, mungkin polusi itu bagian dari fasilitas di Indonesia hari ini.... Mungkin. Ah, semoga tercapai yaa... Amiiin... Mungkin dari cicilan-cicilan untuk buku di perpustakaan yang dibantu Adi, mungkin dengan profesi hari ini sebagai pemusik dan apapun yang saya perbuat, bisa mendukung kemauan saya yang satu ini. Sebab untuk menjaga sekolah milik pribadi yang ideal, setidaknya basis ekonomi yang saya rancang tidaklah sepenuhnya dipusatkan pada sekolah, "Dude... it's impossible!" Begitu kata Adi, partner saya berbagi berbagai macam hal. Kalau cita-cita saya tidak kesampean sebab uang saya ga sampe untuk bikin sekolah? Kalian saja ya yang bikin, semoga tulisan ini menjadi racun yang baik :)

Bikin sekolah bukan tentang mengumpulkan pahala, tapi kesadaran sebagai manusia seutuhnya... yakni berbagi. Sebagaimana tujuan tulisan ini dibuat, teman-teman, untuk berbagi.

- Galih Su. 14 Desember 2010. Untuk Ibu -

No comments:

Post a Comment