Puraka berarti nafas yang teratur dalam seni Yoga. Ada pula yang menyebutkan arti Puraka adalah yang paling dekat dengan kehidupan manusia. Salah satu yang terdekat dalam hidup manusia, adalah perbedaan dan belajar memahami.
Hanya berbagi. Lirik ini diambil dari prasasti yang tertulis 1.300 tahun yang lalu; bagian warisan kekayaan intelektual dan spiritual, nenek moyang kita sendiri, satu dari bagian Prasasti Karang Tengah. Jika kita mencari yang tertulis pada bagian verse ini, tidaklah terdokumentasi dengan baik di negeri sendiri. Namun tersimpan baik oleh seorang filolog asal Belanda, Johannes Gijsbertus de Casparis, yang tercatat dalam bukunya Prasasti I: Inscripties uit de Çailendra-tijd, (1950). Mengenai inkarnasi (menubuh) dan re-inkarnasi (kembali menubuh).
****
Hanya berbagi. Lirik ini diambil dari prasasti yang tertulis 1.300 tahun yang lalu; bagian warisan kekayaan intelektual dan spiritual, nenek moyang kita sendiri, satu dari bagian Prasasti Karang Tengah. Jika kita mencari yang tertulis pada bagian verse ini, tidaklah terdokumentasi dengan baik di negeri sendiri. Namun tersimpan baik oleh seorang filolog asal Belanda, Johannes Gijsbertus de Casparis, yang tercatat dalam bukunya Prasasti I: Inscripties uit de Çailendra-tijd, (1950). Mengenai inkarnasi (menubuh) dan re-inkarnasi (kembali menubuh).
Di balik kejadian yang ada dalam lagu ini, adalah ceritera mengenai kerukunan yang sering menjadi
masalah di negeri ini sejak ribuan tahun lalu.
****
Puraka di balik lirik Deugalih & Folks, menyimpan cerita dari sejarah yang berulang-ulang di masa-lalu hingga
kini, selama manusia masih hidup atau bernafas. Di balik syair masalalu yang lahir dari puncak kerukunan dan kedamaian yang terbentuk. Ini adalah sumber di balik cerita
Puraka manusia ini pernah terjadi:
Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa, Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jiwatwa kalawan Siwatatwa tunggal, Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.
Konon Buddha dan Shiwa merupakan dua zat yang berbeda, memang berbeda, namun bagaimana bisa dikenali?
Sebab
kebenaran Jina (Buddha) dan Shiwa adalah tunggal. Terpecah belahlah
itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.
- KAKAWIN SUTASOMA. 139, 5
Di zaman Majapahit, ada
9 sekte kepercayaan Hindu dan Buddha yang dipeluk oleh masyarakatnya
yang menyebar sampai ke Bali dan semuanya hidup rukun dan tidak ada
perselisihan. Yang dimaksudkan dari kakawin tersebut adalah:
Sesungguhnya Tuhan hanya satu, tidak ada Tuhan yang ke dua. Yang
dimaksud adalah Tuhan bagi Buddha dan Shiwa. Yang merupakan dua agama
terbesar di era itu.
Hal ini diperkuat oleh Kakawin Arjuna Wiwaha atau Kakawin Arjuna Wijaya, seperti ini:
'ndan katenanya, haji, tan hana bheda sao hyao / hyang Buddha rakwa Siwarajadewa/
kalih sameka sira sao pinakeubi dharma / rio dharma sima tuwi yan lepas adwitiya' //'
'dengan
demikian kenyataannya, tuanku raja, tidak ada bedanya Hyang Buddha
dengan Hyang Shiwa, keduanya adalah Esa, yang diwujud-nyatakan adalah
dharma dan di dalam dharma akan mencapai hakikat dari Yang Maha Kuasa.
- KAKAWIN ARJUNA WIJAYA. 27.2
****
Kisah
ini dimulai pada sejarah era sebelumnya.Yakni, dimulai sejak Wangsa
Syailendra (abad VII). Hindu dan Buddha selalu dipisahkan dan
memisahkan diri, menjadi bibit perselisihan dan sempat menjadi konflik
sampai mendasar selama ratusan tahun. Itu sebab candi-candi dan
kerajaan pada masa sebelum Majapahit, antara Buddha dan Hindu tidak
pernah ditemui dalam satu tempat sebelum era Majapahit.
Shiwa-Buddha
mulanya terlihat dari pola budaya masyarakat Singasari yang plural
(abad XI), meski 2 abad sebelumnya pun kepercayaan ini dipercaya sudah
muncul melihat dari adanya Candi Prambanan (abad IX), Prambanan adalah candi bagi penganut Shiwa-Buddha, tidak
lain dari peleburan budaya antara Hindu dan Buddha, berkembang lebih
pesat lagi pada era Hindu-Buddha di Nusantara pada zaman Majapahit
(abad XII) yang telah berhasil menyatukan seluruh Nusantara dengan
kalimat yang kita kenal: Shiwa-Buddha, Bhinneka Tunggal Ika Tanhana Dharma Mangruwa
(tercatat pada kitab Sutasoma, karangan Mpu Tantular, sekitar abad
XIV), setelah begitu lamanya dari kaum Hindu dan Buddha memiliki jarak.
Akhirnya pada era Majapahit, antara Buddha, Hindu dan Shiwa-Buddha dapat
hidup rukun-tenteram. Meski kelak Shiwa-Buddha tidak menonjol
lagi di Jawa setelah Majapahit runtuh (pada abad XV). Namun ketiga
kepercayaan ini di Bali sampai saat ini, tetap lestari oleh
keturunan-keturunan Majapahit dan tetap hidup rukun.
Prambanan dikenal sebagai Siwargha (Rumah Shiwa) adalah salahsatu saksi bisu adanya Shiwa-Buddha di tanah Jawa. Kebanyakan bagi candi baik Hindu dan Buddha mengarah Utara atau Selatan, namun berbeda bagi Prambanan, sebagai candi Hindu, ia mengarah dari Barat ke Timur yang mengarah pada komplek candi Buddha. Yang disinyalir para antropolog, bahwa yang ditekankan Prambanan ia adalah peninggalan Shiwa-Buddha.
Lirik Puraka
diambil dari pengaruh Hindu dan Buddha, yakni syair gatigati diambil
dari pemikiran kaum Buddha, dan bait Vasamsi diambil dari Bhagavad Gita yakni kitab Hindu. Tidak
ditujukan untuk memihak salah satu agama, tentu, justru teguran untuk
manusia yang hidup di hari ini, dari yang pernah tertulis ribuan tahun
lalu dalam Buddha dan Hindu, melalui sejarah ini, mereka memang pernah berseteru umatnya di masalalu, sampai kelahiran agama baru pun pada akhirnya tidak dijadikan satu masalah; ini adalah masalah kepercayaan secara personal. Maka, patutlah dicontoh bahwa Buddha-Hindu-ShiwaBuddha menjadi saling menghormati dan menghargai hingga saat ini. Lirik Puraka diangkat sebagai cermin kerukunan beragama sesudah era Borobudur di
Wangsa Syailendra (abad VII-VIII), yang sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia saat ini.
"Acintya bheda abheda Tattva." Meski berbeda, kita hidup dari satu sumber pencipta yang sama (filosofi Vedanta).
"Acintya bheda abheda Tattva." Meski berbeda, kita hidup dari satu sumber pencipta yang sama (filosofi Vedanta).
Semoga perbedaan kehidupan, perbedaan kepercayaan, perbedaan apapun; tidak dijadikan masalah dan saling merasa benar. Acintya bheda abheda Tattva, bukankah kita lahir selalu dalam bentuk wujud dan kehidupan yang berbeda? Untuk kita mengenal diri, mengenal yang lain tanpa perlu menyinggung perbedaan. Perbedaan adalah Baraka, berkah.
****
PURAKA
(from Bhagavad Gita & Prasasti Karang Tengah, verse by: Deugalih)
Incarnation,
reincarnation,
is evident,
there's no accident.
In a storyline,
for a long, long time,
live of human kind's
just karma.
gatigati
çatānanta
duḥkhābhibhūta *
vāsāḿsi jīrṇāni yathā vihāya
navāni gṛhṇāti naro 'parāṇi
tathā śarīrāṇi vihāya jīrṇāny
anyāni saḿyāti navāni dehī **
Omm Namah Shivaya
Lyric was taken from: Bhagavad Gita & Prasasti Karang Tengah.
Except verse by Deugalih.
And thanks to Holy Rafika Dhona, sebagai narasumber.
* Prasasti Karang Tengah.
** Bhagavad Gitta II; 22
- Puraka: ada di mana-mana, dekat. Atau nafas
- Puraka: dalam Yoga, memiliki arti nafas yang teratur. Mengisap nafas perlahan melalui hidung sampai menyebarkan energi positif ke seluruh nadi dalam tubuh.
- Gati: Jalan atau cara hidup. Wadah sebuah jiwa yang bermigrasi untuk mengalami berbagai macam bentuk kehidupan.
- Garigati catananta duhkabibhuta: Inkarnasi (menubuh / jiwa yang menempati raga) adalah ketentuan hidup yang pasti tidak bisa diganggu gugat bahwa tubuh pasti memiliki jiwa. Dan jiwa yang mengalami inkarnasi adalah hukum yang pasti, untuk menjalankan dharma (tugas)-nya.
- Puraka: dalam Yoga, memiliki arti nafas yang teratur. Mengisap nafas perlahan melalui hidung sampai menyebarkan energi positif ke seluruh nadi dalam tubuh.
- Gati: Jalan atau cara hidup. Wadah sebuah jiwa yang bermigrasi untuk mengalami berbagai macam bentuk kehidupan.
- Garigati catananta duhkabibhuta: Inkarnasi (menubuh / jiwa yang menempati raga) adalah ketentuan hidup yang pasti tidak bisa diganggu gugat bahwa tubuh pasti memiliki jiwa. Dan jiwa yang mengalami inkarnasi adalah hukum yang pasti, untuk menjalankan dharma (tugas)-nya.
- Bhagavad Gita, Chapter II Verse 22:
vāsāḿsi
— pakaian/raga;
jīrṇāni — tua dan usang;
yathā — seperti;
vihāya — menyerah;
navāni — pakaian baru (raga baru);
gṛhṇāti — tidak menerima;
naraḥ — manusia;
aparāṇi — lain;
tathā — dengan cara yang sama;
śarīrāṇi — tubuh;
vihāya — menyerah;
jirṇāni — tua dan usang;
anyāni — berbeda;
saḿyāti — menerima;
navāni — bentuk yang baru;
dehī — wujud.
jīrṇāni — tua dan usang;
yathā — seperti;
vihāya — menyerah;
navāni — pakaian baru (raga baru);
gṛhṇāti — tidak menerima;
naraḥ — manusia;
aparāṇi — lain;
tathā — dengan cara yang sama;
śarīrāṇi — tubuh;
vihāya — menyerah;
jirṇāni — tua dan usang;
anyāni — berbeda;
saḿyāti — menerima;
navāni — bentuk yang baru;
dehī — wujud.
- Bhagavad Gita, Chapter II Verse 22, artinya:
Sebagai seseorang yang memakai raga yang baru, meninggalkan tubuh yang lalu, dan dengan jiwa yang sama memasuki tubuh yang baru, meninggalkan yang lama dan sudah tidak lagi dipakai.
No comments:
Post a Comment